Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Batasan Aurat Perempuan Dalam Islam - Budpekerti Berpakaian Muslim

Salah satu aspek penting seorang muslim dalam menjalani kehidupannya yakni problem aurat dan Adab berpakaian.

Para ulama telah membahas panjang lebar perihal problem aurat ini, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam posting kali ini, islamwiki mencoba untuk menterjemahkan sebuah goresan pena berbahasa Inggris yang mengulas secara cukup detail perihal permasalahan aurat.

Tulisan ini diterjemahkan dari tulisan Muhammad bin Adam al-Kauthari (Darul Iftaa, Leicester, Inggris). Anda sanggup membaca teks aslinya di website: http://qa.sunnipath.com.

 Salah satu aspek penting seorang muslim dalam menjalani kehidupannya yakni problem aurat Batasan Aurat Wanita Dalam Islam - Adab Berpakaian Muslim


Sebuah Penjelasan Rinci Tentang Aurat Perempuan 

(Mazhab Hanafi)

oleh: Muhammad bin Adam al-Kauthari 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

Menutupi diri dari  ketelanjangan (aurat) yakni aspek sangat penting yang sangat ditekankan bagi laki-laki dan perempuan dalam Islam, sehingga Al-Quran dan Sunnah telah memberi perhatian besar berkaitan dengan hal ini. Kami juga melihat aneka macam kitab fikih Islam (fiqh) membahas problem yang bekerjasama dengan aurat baik bagi laki-laki dan perempuan dengan sangat rinci. Dalam artikel singkat ini, saya akan mencoba untuk menjelaskan beberapa dan melihat secara komprehensif menyerupai apa aurat itu.

Awra merupakan istilah Arab jamak dari  Aurat. Secara bahasa, itu berarti tempat yang tersembunyi dan rahasia, dan Awra orang yakni  bagian yang harus disembunyikan. Hal ini juga mengacu pada segala sesuatu yang menyebabkan rasa aib bila terlihat, dengan demikian, Aurat seorang individu yakni area badan yang (biasanya) menyebabkan aib kalau terlihat. (Ibn Manzur, Lisan al-Arab, 9/370).

Dalam terminologi fikih Islam, Aurat mengacu pada kawasan atau penggalan badan yang harus ditutupi dengan pakaian yang sesuai. Dalam bahasa Inggris, biasanya diterjemahkan sebagai ketelanjangan atau area badan yang harus ditutup. Banyak orang (biasanya dari Indo / Pak) menyebutnya sebagai Satar. Untuk tujuan kesederhanaan, saya akan memakai istilah Aurat dalam artikel ini, Insya Allah.

Aurat seorang Wanita

Aurat perempuan awalnya sanggup dibagi menjadi dua kategori:

1) Dalam Shalat

2) Diluar Shalat

Yang kedua ini lalu dibagi menjadi lebih kepada sub-kategori:

a) Dalam pengasingan

b) Di depan suami

c) Di depan perempuan Muslim

d) Di depan Mahram laki-laki (orang yang dilarang dinikahi selamanya)

 e) Di depan laki-laki non-Mahram

  f) Di depan perempuan non-Muslim

 g) Di depan laki-laki non-Muslim Mahram

1) (Red: Adab dalam berpakaian)  Aurat dalam shalat

Aurat perempuan dikala melaksanakan Shalat terdiri dari seluruh badan kecuali wajah, tangan dan kaki. Allah Swt mengatakan: wahai anak Adam! Kenakan pakaian indah Anda (zeenah) di setiap waktu dan tempat shalat. (QS. al-Araf, 31).

Mayoritas para sahabat (ra), pengikut mereka (tabiun), fukaha dan penafsir Al-Quran telah menyimpulkan dari ayat ini (bersama dengan bukti-bukti lain) kewajiban menutupi  Aurat dalam shalat. (Lihat: Abu Bakar bin al-Arabi, Ahkam al-Quran, 4/205, al-Quran Maarif (bahasa Inggris), 3/565).

Sayyida Aisha (ra) meriwayatkan bahwa Rasulullah (Allah memberkatinya & memberinya kedamaian) berkata: Allah tidak mendapatkan shalat dari seorang perempuan yang mengalami menstruasi (yaitu yang telah mencapai pubertas, m) kecuali dengan epilog kepala (khimar). (Sunan Abu Dawud, no. 641, Sunan Tirmizi, Sunan Ibnu Majah dan lain-lain).

Ahli aturan Besar Hanafi , Imam al-Haskafi (Allah merahmatinya) menyatakan dalam karyanya yang  terkenal Durr al-Mukhtar:

Aurat bagi perempuan bebas (bukan budak) yakni seluruh  tubuh penuh nya termasuk rambut  menurut pendapat yang benar, kecuali wajah, tangan dan kaki. (Lihat al-Radd Muhtar, 1/405).

Oleh alasannya yakni itu, seorang perempuan harus menutupi tubuhnya dengan baik ketika melaksanakan shalat. Segala sesuatu selain wajah, tangan dan kaki harus ditutupi. Wajah harus ditutupi dengan benar sehingga tidak ada rambut yang terlihat. Juga, harus diperhatikan bahwa tidak ada penggalan dari atas pergelangan tangan dan pergelangan kaki terlihat.

Harus diingat bahwa Aurat dikala melaksanakan shalat harus ditutupi baik tanpa orang lain yang hadir atau sebaliknya, dan terlepas dari apakah seseorang melaksanakan shalat dalam cahaya gelap atau tidak. (Maraqi al-Falah, 210).

Kaki, berdasarkan pendapat yang lebih benar, tidak dianggap sebagai penggalan dari Aurat. Namun, alasannya yakni perbedaan pendapat berkaitan dengan itu, itu akan menjadi lebih dalam kewaspadaan dan dianjurkan untuk menutupinya, alasannya yakni akan dijelaskan secara rinci nanti.

Sehubungan dengan area di bawah dagu, harus diingat bahwa batas dari wajah panjang dimulai dari titik di mana garis rambut biasanya mulai hingga bawah dagu, dan luasnya penggalan antara kedua telinga. (Maraqi al-Falah, P. 58)

Menjaga hal ini dalam pikiran, menjadi terang bahwa area di bawah dagu tidak termasuk wajah, sehingga akan termasuk dalam definisi aturan Aurat, dan ini harus dicoba untuk menutupinya. Namun, alasannya yakni kesulitan dalam menutupinya, kalau sebagian kecil menjadi terlihat, seharusnya tidak menjadi masalah.

Akhirnya, (di penggalan ini),  Aurat yang harus ditutup dari sebelum masuk ke dalam shalat dan harus tetap tersembunyi hingga akhir. Jika seperempat penggalan / organ yang membutuhkan penyembunyian terlihat sebelum memulai shalat, maka shalat tidak akan sah dari awal. Namun jika, seperempat dari organ yang termasuk dalam Aurat menjadi terbuka selama shalat, kemudian, kalau ini tetap dengan durasi membaca subhanallah tiga kali, Salat akan menjadi tidak sah, kalau tidak, itu akan berlaku. (Lihat: al-Falah Maraqi, P. 242).

(Catatan) Seseorang harus berkonsultasi seorang Ulama berkaitan dengan bagaimana bagian-bagian badan yang dikategorikan dan dibagi, dikala waktu itu, seseorang mungkin menganggap organ badan menjadi salah satu bagian, sedangkan, secara hukum, mungkin dianggap dua penggalan .


2) Aurat Diluar shalat

a) Aurat dalam privasi dan pengasingan

Hal ini diharapkan (wajib) (dan direkomendasikan berdasarkan pendapat lain) di mazhab Hanafi, untuk menutupi ketelanjangan yang minimum (antara pusar dan lutut bagi laki-laki dan perempuan) bahkan ketika sendirian. Pengecualian untuk ini yakni ketika ada kebutuhan, menyerupai mandi, menghilangkan diri sendiri, atau berganti pakaian yang. Bahkan dalam situasi menyerupai itu, dianjurkan untuk meminimalkan eksposur.

Rasul Allah saw berkata: Kesederhanaan merupakan penggalan dari iman (iman) (Sahih al-Bukhari & Sahih Muslim)..

Yala bin Umayyah melaporkan bahwa Rasulullah saw berkata: Sesungguhnya Allah yakni sederhana dan bijaksana dan Dia menyukai kesederhanaan dan kebijaksanaan. Ketika salah satu dari Anda mandi, satu sama lain harus menutupi dirinya. 
(Sunan Abu Dawud, Sunan Nasai & Musnad Ahmad).

Ini yakni perintah dari tawaran dikala sendirian.

Imam al-Haskafi (Allah merahmatinya) menyampaikan dalam bukunya Durr al-Mukhtar:

(Dan untuk menutupi Aurat seseorang), ini yakni kewajiban umum, bahkan ketika saja, berdasarkan pendapat yang benar, kecuali untuk alasan yang sah.

Allama Ibnu Abidin (Allah merahmatinya) menulis sementara mengomentari atas  bukunya al-Radd Muhtar:

(Pernyataan al-Haskafis Bahkan ketika sendiri) Yaitu: diluar shalat itu, wajib untuk menutupi Aurat seseorang di depan orang lain sesuai dengan ijma' ulama, dan bahkan ketika untuk alasan yang benar

Sekarang, arti terang mencakup Aurat seseorang ketika sendirian di luar shalat (dalam konteks ini) yakni bahwa hanya yang antara pusar dan lutut, sehingga bahkan perempuan tidak harus menutupi selain itu (ketika sendirian) bahkan kalau itu yakni dari Aurat mereka di depan orang lain

(Pernyataan Al-Haskafis "Menurut pendapat yang benar") alasannya yakni Allah Swt, meskipun Dia Maha melihat sama saja tertutup atau tidak. Terlihat satu dengan ketelanjangan mereka yakni meninggalkan perilaku yang sempurna dan terlihat tertutup menawarkan perilaku yang sempurna . Sikap yang sempurna ini, yaitu menutup (di sini) yakni wajib kalau ada kemampuan untuk melatihnya. "

(Pernyataan al-Haskafis Kecuali itu untuk alasan yang sah) Seperti, memakai toilet atau membersihkan s diri (istinja) (Lihat:. Radd al-Muhtar, 1/405, Matlab fi satr al-awra ).

Oleh alasannya yakni itu, (menurut pendapat yang lebih benar), seorang perempuan harus menutupi bahkan dalam privasi antara pusar dan (termasuk) lutut kecuali kalau ada kebutuhan, menyerupai membuang hajat, mandi, berganti pakaian, dll

b) Aurat di depan suami

Pada prinsipnya, diperbolehkan untuk pasangan untuk melihat setiap penggalan dari badan masing-masing. Dengan demikian, tidak ada Aurat di depan pasangannya (untuk ini akan dibebaskan dari putusan menyembunyikan dalam privasi alasannya yakni kebutuhan).

Cendekiawan menyebutkan bagaimanapun, bahwa meskipun dibolehkan bagi suami-istri untuk melihat setiap penggalan dari badan pasanganya, itu tidak menyukai bahwa mereka menjadi benar-benar telanjang selama hidup bersama. Sebuah epilog atau lembaran atas badan telanjang akan cukup.

Sayyida Aisha (ra dengan dia) berkata: Aku tidak pernah melihat Rasulullah Allah SWT saw bagian-bagian pribadi. (Sunan Ibnu Majah, hadis no. 662).

c) Aurat di depan perempuan Muslim

Aurat seorang perempuan di depan sesama perempuan Muslim yakni sama dengan yang merupakan  Aurat laki-laki di depan orang lain, yaitu dari pusar hingga dengan lutut.

Hal ini dinyatakan dalam al-Hidaya:

Seorang perempuan mungkin melihat yang lain (Muslim) perempuan itu yang diizinkan bagi seorang laki-laki untuk melihat laki-laki lain, alasannya yakni mereka yang dari jenis kelamin yang sama, dan tidak adanya harapan (syahwat) di antara mereka biasanya pula , alasannya yakni kebutuhan dan kebutuhan mereka mengekspos antara mereka sendiri (Lihat: al-Marghinani, al-Hidaya, 4/461)..

Oleh alasannya yakni itu, seorang perempuan harus menutupi dari pusar hingga dengan dan termasuk lutut di depan perempuan Muslim lainnya.

d) Aurat di depan (Muslim) mahram 

Aurat seorang perempuan di depan laki-laki Mahram nya (laki-laki yang dilarang dinikahi permanen), menyerupai ayah, kakak, anak, paman dari pihak ayah (saudara ayah), paman dari pihak ibu (saudara ibu), ayah -hukum, cucu, suami anak (dari kesepakatan nikah lain), anak mertua, dll - terdiri dari kawasan antara pusar dan lutut, serta perut dan punggung.

Dengan demikian, maka akan diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk mengekspos bagian-bagian berikut tubuhnya di depan laki-laki Mahram: kepala, rambut, wajah, leher, dada, bahu, tangan, lengan, dan kaki dari bawah lutut. Ini tidak akan diperbolehkan untuk mengekspos perut, punggung atau kawasan yang antara pusar dan lutut. (Lihat: al-Fatawa al-Hindiyya, 5/328 &  al-Hidaya, 4/461).

Putusan ini didasarkan pada ayat Al-Quran dalam Surah al-Nur:

Mereka (percaya wanita) tidak harus menampilkan kecantikan mereka kecuali kepada suami mereka, ayah, suami ayah mereka, bawah umur mereka, bawah umur suami mereka, saudara-saudara mereka, bawah umur saudara-saudara mereka, bawah umur saudara mereka atau mereka perempuan (24-31).

Ini juga akan diperbolehkan bagi Mahram untuk menyentuh bagian-bagian yang diperbolehkan untuk mengekspos di depan mereka, asalkan tidak ada rasa takut godaan atau keinginan.

Imam al-Quduri (Allah merahmatinya) menyatakan:

Tidak ada yang salah dalam menyentuh bagian-bagian yang diperbolehkan untuk melihat (Mukhtasar al-Quduri).

Namun, harus diingat bahwa kalau ada rasa takut godaan (fitnah), maka tidak diperbolehkan untuk mengekspos penggalan ini bahkan di hadapan mahram, juga tidak akan diizinkan untuk melihat atau menyentuh daerah-daerah badan yang mahram. (Lihat: al-Lubab fi Sharh al-Kitab, 3/218).

e) Aurat di depan laki-laki non-Mahram

Aurat di depan laki-laki non-Mahram (orang-orang dengan siapa kesepakatan nikah yakni melanggar hukum), yang mencakup saudara sepupu, abang ipar, paman dari pihak ayah (ayah yang saudara suami), paman dari pihak ibu (yang ibu s sister suami), suami paman, keponakan suami, dll) terdiri dari seluruh badan kecuali wajah, tangan dan kaki. Hal ini menyerupai dengan apa yang dianggap Aurat dalam shalat (salat).

Imam al-Marghinani (Allah merahmatinya) menyatakan:

Tidak diizinkan bagi seorang laki-laki untuk melihat seluruh badan seorang perempuan non-Mahram (karena itu menjadi penggalan dari Arrat) kecuali wajah dan tangannya, untuk Allah Swt mengatakan: Perempuan tidak harus menampilkan kecantikan mereka dan perhiasankecuali apa yang tampak darinya (al-Nur, 31). Sayyidina Ali dan Sayyidina Ibnu Abbas (ra dengan mereka) menafsirkan ayat ini dengan wajah dan tangan ... Ini yakni bukti tekstual pada kemustahilan melihat kakinya (untuk itu yakni awra, m), namun Imam Abu Hanifah (Allah merahmatinya) menyampaikan bahwa diperbolehkan untuk melihat kakinya alasannya yakni butuhkan. (Al-Hidaya, 4/458).

Imam al-Tumurtashi (Allah merahmatinya) menyatakan dalam Tanwir al-Absar:

Aurat perempuan terdiri dari seluruh tubuhnya kecuali wajah, tangan dan kaki. Namun, beliau akan dicegah dari menunjukkan wajahnya pada laki-laki  karena takut godaan (fitnah).

Oleh alasannya yakni itu, Aurat perempuan di depan laki-laki non-Mahram yakni seluruh tubuhnya kecuali wajah, tangan dan kaki.

Ini harus dikatakan di sini bahwa ada perbedaan antara Aurat dan Niqab atau Hijab. Karena kegagalan membedakan antara keduanya, banyak orang menjadi korban salah menafsirkan aturan Islam dalam satu atau lain cara.

Wajah berdasarkan para ulama yakni bukan penggalan dari Aurat, namun, menyerupai telah kita lihat dalam teks Imam al-Tumurtashi, maka akan diharapkan untuk menutupi itu alasannya yakni takut godaan dan hasutan.

 Ibnu Abidin menyatakan: (Seorang perempuan muda akan dicegah dari menampakan wajahnya), bukan alasannya yakni itu yakni penggalan dari Aurat, bukan (tapi alasannya yakni takut godaan). (Radd al-Muhtar, 1/406).

Dengan demikian, diskusi kita semata-mata mengenai Aurat, dan tidak Jilbab atau Niqab. Sejauh yang berkuasa menentukan berkaitan dengan epilog wajah atau yang bersangkutan, kita meninggalkan bahwa untuk lain waktu.

Hal ini juga layak disebutkan di sini bahwa meskipun posisi Fatwa di  Madhab Hanafi yakni bahwa kaki tidak termasuk dalam Aurat, tetapi ada hal lain pendapat yang berpengaruh (dalam mazhab dan sesuai dengan Madhabs lain, menyerupai Shafii), bahwa itu yakni penggalan dari Aurat, dan harus ditutupi. Dengan demikian, secara hukum, salah satu tidak akan berdosa untuk menampakkannya, tetapi akan dianjurkan sebagai langkah pencegahan untuk menutupi kaki

Selain itu, (menurut pendapat Fatwa), itu hanya diperbolehkan untuk menampakan kaki hingga pergelangan kaki. Apa pun di atas pergelangan kaki yakni dari Aurat tanpa keraguan.

Banyak perempuan mengenakan cadar, burqa dan jilbab yang biasanya menutupi pergelangan kaki, tetapi mengungkapkan kawasan tungkai atas ini sambil berjalan (terutama di angin, duduk dan keluar dari mobil, dll), sehingga mereka melaksanakan dosa mengungkap Apa yang dianggap Aurat berdasarkan semua.

Oleh alasannya yakni itu, kita perlu menekankan pentingnya menutupi kaki. Menutupi kaki yakni sama pentingnya dengan menutupi wajah kalau tidak lebih, untuk wajah tidak dianggap penggalan dari Aurat, sementara, ada pendapat yang berpengaruh dalam mazhab Hanafi (dan pendapat Fatwa dalam mazhab lain) bahwa kaki juga .

Mereka yang sangat menyerukan dan menekankan perlunya menutup wajah (bukan berarti bahwa saya keberatan mereka) juga harus menyadari bahwa kaki  juga sama pentingnya. Pada dikala ini, semua pementingan diletakkan pada wajah, sementara perempuan terlihat untuk mengekspos area di atas pergelangan kaki dikala berjalan dan tidak ada kesadaran bahwa dosa sedang dilakukan.

f) Aurat di depan perempuan non-Muslim

Aurat seorang perempuan di depan perempuan non-Muslim, tegasnya, sama dengan yang ada di depan laki-laki non-Mahram, yaitu seluruh badan selain tangan, wajah dan kaki.

Ayat QS. al-Nur yang kami kutip sebelumnya rincian daftar orang selain antaranya seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk mengekspos kecantikannya. Orang-orang menyerupai (seperti yang dijelaskan sebelumnya) diketahui mahram nya (unmarriageable kin). Juga, dalam ayat itu, Allah SWT menyatakan: perempuan mereka (al-Nur, 31) menawarkan bahwa seorang perempuan hanya harus mengekspos dirinya untuk perempuan dan bukan orang lain.

Para penafsir Al-Qur'an berbeda berkaitan dengan interpretasi pernyataan Allah. Imam Fakhr al-Din al-Razi (Allah merahmatinya) menyatakan:

Sehubungan dengan pernyataan Allah atau perempuan mereka, ada dua pendapat. Yang pertama yakni bahwa hal itu mengacu pada para perempuan yang berada di agama yang sama (din) dengan mereka (yaitu Muslim, m). Ini yakni pendapat lebih banyak didominasi para pendahulu (salaf). Ibnu Abbas (ra dengan dia) menyatakan: Tidak diizinkan untuk percaya / perempuan Muslim untuk mengungkap dirinya di depan perempuan non-Muslim, dan beliau hanya diperbolehkan untuk menampakan bahwa apa yang diperbolehkan di depan laki-laki non-Mahram Sayyidina Umar bin al-Khattab (ra dengan dia) menulis kepada Abu Ubaida bin Al-Jarrah (ra dengan dia) untuk menghentikan perempuan non-Muslim memasuki area mandi (hammam) dengan perempuan Muslim.

Pendapat kedua yakni bahwa, mengacu pada semua perempuan (yaitu beliau mungkin menampakan di depan semua wanita, m). Ini yakni opini yang diadopsi, dan pendapat para pendahulu didasarkan pada superioritas (istihbab). (Lihat: Tafsir al-Kabir, 8/365).

Sebagaimana telah kita lihat, bahwa Imam al-Razi (Allah merahmatinya) mengadopsi pandangan kedua bahwa seorang perempuan bisa mengungkap di depan perempuan non-Muslim hingga sebatas apa yang beliau diperbolehkan untuk mengungkap di depan laki-laki Mahram.

Namun, banyak ulama menentukan pandangan pertama, dan itu yakni pandangan yang diadopsi oleh Mazhab Hanafi. Imam al-Haskafi (Allah merahmatinya) menyatakan:

Seorang perempuan non-muslim menyerupai dengan seorang laki-laki non-Mahram berdasarkan pendapat yang benar. Dengan demikian, beliau tidak diizinkan untuk melihat badan seorang perempuan Muslim. (Radd al-Muhtar, 6/371).

Allama Ibnu Abidin (Allah merahmatinya) menjelaskan:

Tidak diizinkan bagi perempuan Muslim untuk mengungkap di depan, Nasrani Yahudi atau perempuan atheis kecuali kalau beliau budak nya, juga tidak menyukai bahwa seorang perempuan korup (fasik) melihat badan seorang perempuan saleh, alasannya yakni ia sanggup menggambarkan dirinya kepada orang-orang, sehingga ia harus menghindari melepas pakaian luarnya (jilbab) atau scarf (khimar). (Ibid).

Hal ini terbukti dari teks Ibnu Abidin bahwa alasan utama untuk tidak diperbolehkannya mengungkap di depan seorang perempuan non-Muslim yakni bahwa beliau mungkin mengungkapkannya kepada laki-laki lain. Jika hal ini dikhawatirkan dari seorang perempuan Muslim yang fasik, maka salah satu harus menghindari mengungkap di depannya juga.

Oleh alasannya yakni itu, Aurat seorang perempuan di depan perempuan non-Muslim yakni semua tubuhnya kecuali wajah, tangan dan kaki. Dengan demikian, seorang perempuan harus menutupi di depan perempuan non-Muslim setiap kali mungkin wajar. Namun, ulama menyampaikan bahwa kalau hal ini sulit, maka akan diperbolehkan untuk mengekspos beberapa penggalan badan di depan mereka.

Putusan menutupi di depan perempuan non-Muslim tidak seketat situasi lainnya, untuk, pertama, ada perbedaan pendapat antara para ulama mengenai hal itu, dan kedua, mungkin pada waktu yang sangat sulit untuk menutupi di depan perempuan. Penafsir besar, Imam al-Alusi (Allah merahmatinya) menyatakan:

Pendapat ini (dari tidak menutupi di depan perempuan non-Muslim) yang lebih sempurna hari ini, untuk itu hampir tidak mungkin untuk menutupi di depan mereka. (Ruh al-Maani).

Sebagai kesimpulan, seorang perempuan harus menutupi setiap kali cukup mungkin di depan perempuan non-Muslim, terutama bila ada ketakutan bahwa beliau mungkin menampakannya pada laki-laki lain. Juga dikala ini, Fitnah menyerupai lesbianisme telah menjadi menyebar begitu luas yang telah menjadi penting bagi perempuan untuk mengamati secara hati-hati dengan perempuan non-Muslim. Namun, kalau sulit untuk menutupi sepenuhnya, maka salah satu sanggup mengambil konsesi pada tidak menutupi dan meminimalkan ke minimum.

g) Aurat di hadapan mahram non-Muslim

Sehubungan dengan Aurat di hadapan mahram nya yang non-Muslim, menyerupai seorang ayah non-Muslim, saudara, anak, dll, saya tidak bisa menemukan putusan eksplisit pada problem di mazhab Hanafi.

Namun, sepertinya bahwa mahram non-Muslim yang menyerupai dengan mahram lain bahwa seorang perempuan sanggup menampakan dirinya selain dari pusar hingga lutut dan perut dan punggung, asalkan tidak takut godaan (fitnah).

Ada dua alasan untuk ini:

Pertama, ayat Al-Quran dan laporan para andal aturan (fuqaha) yang umum ketika membahas mahram. Mereka tidak membedakan antara Mahram non-Muslim dan Muslim. Alquran memungkinkan seorang perempuan untuk mengekspos dirinya (untuk persetujuan, menyerupai dijelaskan di atas) di depan ayahnya, saudara, anak, dll tanpa menentukan bahwa ia menjadi seorang Muslim.

Kedua, Fuqaha secara eksplisit menyebutkan bahwa Mahram dengan siapa seorang perempuan mungkin pergi pada perjalanan haji termasuk juga non-Muslim. Imam al-Haskafi (Allah merahmatinya) menyatakan:

Seorang perempuan mungkin bepergian untuk haji bersama suami atau mahram, meskipun kalau ia (Mahram) yakni budak atau non-Muslim atau (dia dianggap Mahram a, m) alasannya yakni menyusui. Dia harus telah mencapai pubertas dan waras, dan anak laki-laki yang akrab dengan pubertas yakni menyerupai orang yang telah mencapai pubertas, kecuali penyembah api dan orang yang tidak bermoral dan fasik.

Allama Ibnu Abidin (Allah merahmatinya) menjelaskan:

Alasan mengapa bepergian dengan Mahram yang merupakan penyembah api yakni tidak diperbolehkan, yakni bahwa mereka (penyembah api, m) menganggap kesepakatan nikah dengan kerabat akrab diperbolehkan. (Radd al-Muhtar, 2/464)

Imam al-Kasani (Allah merahmatinya) menyatakan:

Mahram yakni satu dengan siapa kesepakatan nikah secara permanen melanggar aturan apakah Mahram ini yakni orang merdeka atau budak, alasannya yakni perbudakan tidak bertentangan dengan kekerabatan akrab (mahramiyya), dan apakah ia yakni seorang Muslim, non-Muslim atau atheis (musyrik), untuk Mahram non-Muslim biasanya pengamanan dirinya, kecuali bahwa beliau yakni seorang pemuja api, alasannya yakni ia menganggap kesepakatan nikah dengan beliau menjadi halal. (Badaii al-Sanai, 2/124).

Hal ini dinyatakan dalam Fath al-Qadir:

Hal ini dibolehkan baginya untuk bepergian dengan semua jenis mahram kecuali penyembah api, alasannya yakni ia percaya kesepakatan nikah dengan beliau menjadi halal. (Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, 2/422).

Dalam mazhab Syafi'i, kita mempunyai teks yang terang yang memungkinkan mengungkap di depan Mahram non-Muslim. Imam Ibnu Hajar al-Haitsami (Allah merahmatinya) menyatakan:

Hal ini tidak diperbolehkan untuk melihat apa yang terletak antara pusar dan lutut yang relatif akrab (mahram), segala sesuatu yang lain diperbolehkan, asalkan tidak ada harapan (shahwah), dan bahkan kalau ia yakni seorang non-Muslim, alasannya yakni kekerabatan erat (mahramiyyah) menciptakan kesepakatan nikah sah, sehingga seakan-akan mereka yakni dua laki-laki atau dua perempuan. (Tuhfat al-Muhtaj ala al-Minhaj).

Oleh alasannya yakni itu, akan diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk mengungkap selain kawasan antara pusar dan lutut, dan perut dan punggung di hadapan mahram non-Muslimnya, asalkan dua kondisi terpenuhi:

1) bahwa tidak ada harapan (shahwat) atau takut godaan (fitnah), terutama ketika kita hidup di zaman di mana kejahatan menyerupai inces antara non-Muslim menjadi umum,

2) bahwa kerabat akrab non-Muslim tidak ada diantara mereka yang percaya bahwa diizinkan untuk menikahi kerabat dekat,

Akhirnya sebelum berpisah, saya ingin menyebutkan dalam kaitannya dengan diskusi kita tiga poin.

Pertama, harus diingat bahwa semua penggalan badan yang perlu dibahas (dalam aneka macam situasi dibahas di atas) harus ditutupi dengan pakaian yang longgar dan buram. Pakaian tidak harus dekat-pas dimana sosok badan terlihat atau transparan dimana warna badan bisa untuk dilihat. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka tidak akan dianggap menjadi epilog yang cukup untuk aurat tersebut.

Imam al-Haskafi (Allah merahmatinya) menyatakan:

Pakaian yang dianggap epilog yang cukup menyerupai itu, tidak mungkin untuk melihat seuluruhnya.

Allama Ibnu Abidin (Allah merahmatinya) menjelaskan:

(Hal ini tidak mungkin untuk melihat mereka menyeluruh), yang berarti dengan cara yang mana warna kulit tidak sanggup terlihat. Ini berarti pakaian tipis dan lainnya yang tembus. Namun, kalau pakaian yang tebal dengan cara yang warna kulit tidak terlihat, tetapi ketat untuk tubuh, maka ini seharusnya tidak mencegah keabsahan shalat Namun, masih bisa untuk melihat  bagian tubuh. (Lihat: al-Radd Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar, 1/410).

Ini kutipan dari Ibn Abidin menjelaskan bahwa kalau kulit badan menjadi terlihat dalam shalat, shalat akan menjadi tidak shah. Namun, pakaian ketat tidak akan mencegah keabsahan shalat, namun masih perlu untuk tidak mengenakan pakaian ketat.

Kedua, dalam semua kesempatan sebelumnya di mana ia diperbolehkan untuk mengungkap dan mengekspos tubuh, kalau ada rasa takut harapan (shahwat) di kedua sisi atau ada rasa takut godaan (fitnah), maka akan diharapkan untuk menutupi. Seorang perempuan mungkin menciptakan keputusan ini sendiri sesuai dengan lingkungan beliau masuk

Ketiga, akan diperbolehkan untuk mengungkap dan mengekspos penggalan Aurat dalam kasus kebutuhan ekstrim dan kebutuhan, menyerupai obat-obatan. Namun, perawatan harus diambil bahwa ini terbatas hanya penggalan yang memerlukan perawatan. Jika pengobatan diharapkan pada penggalan langsung yang sebenarnya, maka akan lebih baik untuk mendapatkan perawatan dari seseorang yang berjenis kelamin sama. Namun, kalau ini tidak mungkin, maka akan diizinkan untuk mendapatkan perawatan dari seorang andal dari lawan jenis, dengan mengurus dari perintah-perintah dan bimbingan Syariah.

Allama Ibnu Abidin (semoga Allah merahmatinya) menyatakan:

Hal ini dibolehkan untuk dokter laki-laki untuk melihat kawasan aurat perempuan untuk tujuan pengobatan, asalkan diminimalkan hanya kawasan yang benar-benar membutuhkan pengobatan, untuk keperluan tersebut terbatas hanya kebutuhan yang sebenarnya. Jika bagian-bagian langsung membutuhkan pengobatan, maka perempuan harus melaksanakan pengobatan, menyerupai melihat seseorang dari jenis kelamin yang sama kurang dari yang jahat. (Radd al-Muhtar, 5/261).

Di atas yakni klarifikasi komprehensif melihat Aurat seorang wanita. Luasnya Awra berbeda dari satu kesempatan ke yang lain dan dari satu orang ke orang lain. Seluruh konsep dan gagasan di balik ini yakni bahwa Islam menginginkan umatnya untuk hidup yang suci dan bebas dari segala jenis korupsi atau imoralitas. Ini yakni dasar bagi setiap masyarakat yang sehat dan murni. Semoga Allah membimbing kita semua ke jalan yang lurus, dan bahwa kita bisa untuk bertindak atas perintah dari Syariah dengan cara yang paling menyenangkan bagi Allah SWT.

Dan Allah Maha Tahu yang terbaik

Itulah klarifikasi rinci problem aurat yang dijelaskan dalam lingkup mazhab Hanafi yang dijelaskan oleh penulisnya. Guna memperluas kajian berikut ini kami sediakan daftar link-link terkait dengan problem aurat:

Perbedaan Batasan Aurat Menurut 4 Mazhab

Batasan Aurat Mazhab Syafi'i

Batasan Aurat perempuan dan Pria

Fikih Aurat 4 Mazhab


Sumber https://islamwiki.blogspot.com/